(Versi yg diyakini dan diresmikan oleh
Punguan Parsadaan Pomparan ni Tuan Sumerham Rambe
pada Pesta Tugu th 1991 di Pakkat)
Dimulai dari Toga Sumba,Toga Sumba mempunyai 2(dua)
orang anak yaitu Toga Simamora dan Toga Sihombing. Toga Simamora memperistri
putri dari keluarga Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putri
dari Siraja Lottung.
Keturunan Toga Simamora dari hasil perkawinannya dengan putri dari keluarga Saribu Raja, bernama Tuan Sumerham, dan seorang putri Si Boru Aek So Hadungdungan yang cacat buta. Selama ini telah terjadi kekeliruan dalam menyebutkan marga Saribu Raja sebagai istri Toga Simamora. Hal itu beberapa kali dialami oleh marga Rambe ketika mencari Hula-Hula Saribu Raja. Sedangkan marga keturunan Sariburaja sekarang ini adalah yang masuk dalam group Borbor. Kalau ditelusuri lebih lanjut, pada silsilah toga Marbun, dikatakan “……..laos dibaen ma nasida nasapariban i marhombar balok………..” seperti yang dapat ditemui di Tano Tipang Bakkara, bahwa kerajaan Toga Simamora berbatasan dengan kerajaan Toga Marbun. Istri Toga Marbun dalam sejarah disebut boru Pasaribu. Dengan demikian jelaslah bahwa istri Toga Marbun dan Toga Simamora sama-sama boru Pasaribu, sehingga dengan demikian keduanya “marpariban”. Toga Marbun sendiri merupakan pomparan Toga Nai Pospos kakak adek dengan Tuga Sumba.
Berdasarkan refrensi tersebut diatas, maka Istri pertama Toga Simamora adalah Boru Pasaribu, pomparan dari Saribu Raja. Sedangkan Toga Sihombing mempunyai istri boru Lontung ( Lontung, delapan bersaudara, tujuh marga,satu perempuan) Dari boru Lontung lahir 4(empat) orang anak yaitu Silaban, Nababan, Hutasoit, Lumbantoruan. (Setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya, dimana sebelumnya hanyalah nama).
Kemudian Toga Simamora, turun ranjang (“Mangabia”, “manghappi”) mengawini istri dari Toga Sihombing – apakah karena istri toga Simamora meninggal dan suami boru Lontung juga meninggal, tidak jelas dalam sejarahnya. Dari perkawinan yang kedua ini, lahir 3(tiga) orang anak yaitu Purba, Manalu, Debataraja. Maka ke-tujuh marga ini (Nababan Silaban, Lumbantoruan, Huta soit, Purba, Manalu Debataraja) merupakan satu ibu, lain bapak.
Keturunan Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara. Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya (Purba, Manalu, Debataraja), tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain.Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lontung.
Sejarahnya, Purba, Manalu, Debataraja sudah berkeluarga dan
masing-masing segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya
Tiopipian br. Siregar belum mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang
menganjal dalam hubungan antara keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara
tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung
kita, boru Siregar, dan tetap tidak “dihailahon tondi na”, dimana hal ini juga
dialami Ompung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita, boru Siregar
memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudara
tirinya nya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaan
para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya pada suatu malam, saat semua Saudara
tirinya tertidur, mereka meninggalkan Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora
yaitu :
- Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang disembunyikan di Bonggar-bonggar.
- Tombak, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
- Pustaha (buku lak-lak)
- Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa silambuyak).
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka
tersebut, maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui.
Sebagai acuan mereka untuk tinggal di mana, Oppung Tuan Sumerham mempersiapkan
sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkara. Tanah ini nantinya akan di bandingkan
dengan tanah pilihan dimana kelak meraka akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan
Sumerham masih mempunyai keyakinan kelak akan kembali dan mempunyai keturunan.
Hal ini ditandai dengan catatan, bahwa ”di setiap belokan
Tuan Sumerham menjepitkan lidi pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut
mengarah ke arah dari mana mereka datang”.
Dalam perjalanan, sampailah mereka di suatu bukit dan beristirahat, namun karena bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa, mereka lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata, sanggul /konde Ompung boru Siregar tertinggal di sana, sehingga konon disebutlah tempat itu Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Namun karena belum juga mendapatkan tanah yang cocok maka mereka pun bergegas melanjutkan perjalanan. Dikisahkan, tongkat Ompung boru Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat tersebut, dan disebutlah tempat itu Sibuluan.
Akhirnya, tibalah Ompung Tuan Sumerham dan Tiopipian br Siregar di suatu perbukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG”. Perbukitan tersebut sangat cocok dengan tanah yang mereka bawa dari Tano Tipang Bakkara. Mereka pun memutuskan untuk tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah pohon yang disebut pohon rambe yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal musim, kembang dan buah matang silih berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan banyak. Rasanya manis asam namun lebih dominan rasa manisnya kalau sudah matang sempurna. Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil berburu, sebelum hasil tani mereka panen. Sedikit ke lereng perbukitan tersebut, terdapat mata air yang sangat segar yang keluar dari Batu dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul di areal mereka tinggal, Ompung boru bingung, mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui dari mana asalnya, tumbuh sebatang padi di ladang yang mereka cangkul, lalu meraka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi. Padinya disebut padi sisior, berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampong Pakkat, padi si Rambe. Seiring berjalannya waktu, padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah.
Buah Rambe yang ada dipelataran LOBU TONDANG, sepertinya mempunyai khasiat untuk menyuburkan kedua Ompung kita Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung kita boru Siregar mulai mengandung anak pertamanya, dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe Anak Raja. Rambe menjadi ikon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.
Beberapa parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati yang tulus dan tekat yang murni, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe, dan ternyata berhasil mendapatkan anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa ego dan serakah, akan membuahkan hasil. Ini dibuktikan 2(dua) orang paniaran Rambe salah satu parumaen Rambe yang serakah, didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai keturunan. Pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe yang lain, yang hampir tidak kebagian karena sifat serakah tersebut. Ketika dia memangis di pohon rambe tersebut, seseorang yang melihatnya merasa kasihan, maka sebiji rambe yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan kepada yang menangis itu. Ternyata dia yang berhasil mendapatkan anak.
Pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi , tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja Tuktung mereka tinggal di sana. Raja pardosi sendiri mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman. Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan melihat yang hayut di Sungai Sirahar. Alangkah kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpulan, ada penduduk gelap yang berdiam di wilayah kekuasaanya tanpa melapor.
Segera raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan dan memberi sanksi. Dikisahkan, bertemulah Raja Pardosi dengan Ompung kita Tuan Sumerham. Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan, Tuan Sumerham dan keluarga di jatuhi sanksi yaitu “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”. Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap musim panen, lebih dahulu harus diberikan ke Raja untuk kemudian bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham. Satu hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori tawanan kepada keluarga Tuan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha melepaskan diri dari segala sanksi.
Untuk melepaskan diri dari Upeti, apakah karena tuntutan anaknya atau untuk masa depan keluarganya, tentu hanya Tuan Sumerham yang tahu. Dia membuat pekerjaan yang jitu. Sebagaimana biasa di pagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang. Kemudian Tuan Sumerham member balankon/mahkota/bulang-bulang di kepala Rusa dengan warna Putih, Hitam dan Merah datur sedemikian seolah bukan buatan manusia. Bekas jejaknya dirapikan kembali olehnya, sehingga kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat).
Tuan Sumerham dengan segera menemui Raja Tuntung Pardosi dan menceritakan
perihal Rusa tersebut, kira-kira beginilah dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita, saya tidak mau ingkar, tetapi saya takut. Saya tidak tahu apa gerangan yang akan terjadi kelak dengan tanda-tanda hasil jebakan yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada Sang Raja. Itu sebabnya saya datang,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya
mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut mendekatinya, silakan
kita lihat yang mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke
tempat jebakan tersebut. Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa
yang bermahkota kain putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan
Tuan Sumerham.
Sang Raja terkejut melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat
menyeramkan dan berkata;
“,,,,,,,,, di ho ma na di ho!?. Mulai saonari,
unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I,
ndang sahat tu au dohot harajaonhu I,,,,,,,,,,,,,” (artinya, kaulah yang
betanggung jawab atas alamat apa yang akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah
beralamat ke saya dan kerajaan saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi
sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tungtung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri,
yang tertua mernama Nanja br Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br
Pardosi. Sementara Rambe Purba, Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah beranjak
dewasa, demikian juga ketiga boru Pardosi. Oleh kuasa Maha Pencipta, mereka
dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi, dan saling mengikat Janji. Untuk
merealisasikan janji mereka, maka Raja Tungtung memberi syarat. Tuan Sumerham
dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri pernikahan tersebut. Suatu hal yang
sulit bagi Tuan Sumerham, mengingat kepindahannya ke Lobu Tondang karena
perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah merupakan
syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya untuk mengundang
Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus mereka lakukan. Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren
yang di jepitkan pada kayu di setiap belokan. Sesampainya mereka di sana,
mereka akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/ dibunuh. Dahulu ketika era primitif, kalau ada orang yang
tidak dikenal masuk kampung, akan ditangkap dan dibunuh. Pada saat di pasung,
mereka arahkan agar melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis.
Bahasa lagunya,
“mago do hape horbo namulak tu
barana”
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya
suatu hal yang tidak mungkin terjadi,
apabila mata kampak kembali ke tangkainya menjadi hilang,
kerbau menjadi hilang kalau kemali ke kandang
juga manusia menjadi hilang apabila kembali ke kampong
Tetapi itu akan terjadi pada mereka bertiga kalau
tidak ditanyakan mereka anak siapa. Mereka punya Namboru yang buta bernama Si
Buro Aek So Hadungdungan. Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung
sarabanan dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur
di kayu Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon
rumah bolon (bonggar-
bonggar).
bonggar).
Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya dalam kekuatiran, maka berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan serta menjawab pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab apabila tidak ditanya. Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan mengarah kearah ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Akhirnya tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah. (Dahulu rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an kerbau). Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham dengan penuh ketakutan dan menangis, terus-menerus (diandunghon). Pada tengah malam, Namborunya mendengar andung mereka,semakin dicermati semakin berdiri bulu kuduknya. Lalu ia menemui Saudara tirinya yang sedang Rapat untuk acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari.
Lalu Namborunya angkat bicara,
“,,,,,,,,,,, Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate
maup.
Adong dongan tubu mu/Abang mu na mago.
Atik boha dung dipangarantoan mamoppar.
Asing hubege adung nasida.
Asing hubege adung nasida.
Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,,,,,”
Mendengar itu, mereka pun berhenti rapat dan memperhatikan
lantunan andung mereka ketiga anak Tuan Sumerham. Meraka pun turun dan bertanya,
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”. Lalu meraka menggali pada malam itu juga dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang
tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”. Mereka juga langsung menggali, dan
menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggar rumah bolon,,,,,”. Mereka cari juga ketemu.
Dan apa lagi,
“,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke perantauan, dan ada sama bapak
sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalam hatinya.
Lalu mereka ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putri Raja Tungtung di panombagan nami,
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putri Raja Tungtung di panombagan nami,
tetapi raja bersyarat, kita sekeluarganharus ramai. Maka kami datang
untuk mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang. Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang. Merekapun melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang di Tano Tipang Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan saudaranya, mendengar itu Raja Tungtung terkejut karena arti dari “marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang.
Bagi Raja Tungtung, adalah suatu tantangan sebab
sudah ditentukan hari H. Undangan pun sudah berjalan, dan tinggal pelaksanaan.
Seorang raja tidak mungkin membatalkan acara yang sudah dirancang, karena
menyangkut harga diri raja. Raja harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tungtung mempersiapkan tentaranya untuk cegah tangkal
pada pesta perkawinan ketiga putrinya. Dengan persiapan yang sudah sangat
matang, semua siap pada posisi masing-masing sebagai pengamanan detik-detik
perkawingan putrinya.
Pada waktu “sagang ari” (pukul 10.00) undangan Tuan
Sumerham, yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang tempat pesta, dengan membunyikan kode perang. Menurut yang
disejarahkan oleh para orang tua, pada saat itu ada usaha sekaligus untuk menghilangkan
jejak atau sejarah adanya Tuan Sumerham. Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur sejarah,
yaitu Toga Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja. Maka dalam pemikiran
mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan kekutan, bahwa Tuan Sumerham
dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan segera. Mereka sama sekali tidak
memperhitungkan kekuatang tentara kerajaan.
Kode perang tersebut langsung disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi, maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara (Saudara tiri red.) dengan tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak kesampaian. Mereka dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan, kembali ke Tipang Bakkara dengan kegagalan, alhasil marga Rambe tetap ada sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka pasangan, pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi; Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi. Demikan lah mereka hidup berumah Tangga dengan damai.
Namun pikiran Tuan Sumerham, masih bekerja untuk
mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri
Raja yang berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga anaknya bersama istri masing-masing.
Tuan Sumerham memaparkan visi pemikirannya untuk masa depan mereka, bahwa dengan
keberadaan mereka numpang hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat
lemah. Peluang untuk kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah
tersebut dapat dikatakan relative sempit. Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi,
masih sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat
?,,,,,,,,” jawab ketiga anak dan parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai
tanah yang luas, sebagian kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga.
Asalkan kalian mau menuruti apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita-cita
ayah,,,,,” jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua kalian. Setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal disana, kalian bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku tinggallah dulu disana untuk beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja (besan Tuan Sumerham) dan pasti akan ditanya, apa permintaan kalian agar mau kembali ke keluarga masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang mengatur, seberapa luas wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja Tungtung layaknya “marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus melaksanakan mebat, setelah beberapa lama menikah. Sesuai dengan yang diskenariokan Tuan Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang dengan alasan kepada Raja untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi kehidupan mereka sebagai keluarga. “marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan ulaon sadari adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah. Acara ini erat kaitannya dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini menjadi kunci sebuah rumah tangga lanjut atau cukup sampai paulak une tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini paling sangat dibenci, tapi harus dilaksanakan.
Pembahasan tuntas pada hukum adat perkawinan, bagi
Raja Tungtung, keadaan seperti itu merupakan hal yang biasa pada perlakuan adat
sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja mulai gelisah, karena
ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput istri masing-masing,
sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming untuk berencana pulang kembali ke
suami masing-masing. Tentu sebagai Raja yang dihormati, adalah aib baginya,
ketiga putrinya yang sudah menikah, berlama-lama di rumahnya atau kampungnya.
Hari bertambah hari, tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke
Suami masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka
dari pada berlama-lama, akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan bertanya
kenapa mereka belum berencana pulang ke suami masing-masing?
Mereka bertiga diam tidak menjawab.
,,,,,”apakah kalian mempunyai kesalahan terhadap mertua atau suami
kalian,,,,,,,,?”
Mereka tetap diam tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal
tuduhan/kekhawatiran Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,?
Mereka bertiga tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan kalian kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit dekat
rumah raja. Setelah sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri
seolah membuat lengkungan menghadap kampung raja. Bukit tersebut dikenal di
Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan Tano Rambe dengan Tukka harajaon
Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke belakang kami, berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai perbatasan antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu kecamatan minus kerajaan pardosi, kerajaan Simanullang).
Maka batas kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotting
kearah Tukka Barus, Parajaran (dulu sekarang lepas karena kelemahan rambe), ke arah
Parlilitan sebelum Aek Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke
Sibongkare, lalu kesijarango,
Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur
laut Sijarango berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah
pegunungan Sapparungan, Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai sirahar yang
mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil kearah Gunung
Pinapan, Simbo kearah
Banuarea, Batu papan, gn Tua Jagapayung Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke Gotting.
Banuarea, Batu papan, gn Tua Jagapayung Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak dan kembali ke Gotting.
Jadi jelas merupakan wilayah yang sangat luas
menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak Tuan Sumerham mempunyai anak, dan
Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk menempatkan anak-anaknya
sebagai strategi penguasaan territorial ditempatkan lah Rambe Toga Purba
istrinya Rubi br.Pardosi di Tambok Rawang Jakhadatuon/Batugaja sebelah selatan
Lobu Tondang dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara, dan Barat daya.
Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira Sibambanon sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran keturunannya Timur, Timur Laut dan Tenggara.
Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi
ditempatkan di Tolping sebelah Barat Lobu Tondang dengan daerah penyebaran keturunan
daerah Barat Daya dan Barat Laut.
Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira
menjadi daerah panombangan sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga generasi ke-7, sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja Nalu ke
Sipiongot yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya memakai marga
Rambe dan hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai Marga Rambe.
Generasi ke 8 anak dari yang menjadi Baginda So Juangon, juga memakai marga
Rambe sampai generasi ke 9 sejalan dengan datangnya Ompung Meman Debataraja ke
Sijarango, Rambe masih eksis di Negeri Rambe, Pakkat.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa keturunan Tuan Sumerham sebelum masuknya
rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh:
- Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op. Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
- Surat Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18-an tertulis “Aman Sampe Rambe marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Aman Sampe Rambe sekarang ini memakai marga Purba.
- Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera Utara (Khususnya Sipiongot dan Gunung Tua sekitarnya) adalah keturunan Tuan Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 yang pergi merantau ke sana dan bermarga Rambe, dan hingga sekarang memakai marga Rambe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar